Tingkatan manajer
Pada organisasi berstruktur tradisional, manajer sering
dikelompokan menjadi manajer puncak, manajer tingkat menengah, dan manajer lini
pertama (biasanya digambarkan dengan bentuk piramida, di mana jumlah karyawan
lebih besar di bagian bawah daripada di puncak).
Manejemen lini
pertama (first-line management), dikenal pula dengan istilah manajemen
operasional, merupakan manajemen tingkatan paling rendah yang bertugas memimpin
dan mengawasi karyawan non-manajerial yang terlibat dalam proses produksi.
Mereka sering disebut penyelia (supervisor), manajer shift, manajer area, manajer
kantor, manajer departemen, atau mandor (foreman).
Manajemen
tingkat menengah (middle management) mencakup semua manajemen yang
berada di antara manajer lini pertama dan manajemen puncak dan bertugas sebagai
penghubung antara keduanya. Jabatan yang termasuk manajer menengah di antaranya
kepala bagian, pemimpin proyek, manajer pabrik, atau manajer divisi.
Manajemen puncak
(top management), dikenal pula dengan istilah executive officer, bertugas
merencanakan kegiatan dan strategi perusahaan secara umum dan mengarahkan
jalannya perusahaan. Contoh top
manajemen adalah CEO (Chief
Executive Officer), CIO (Chief Information Officer), dan CFO (Chief
Financial Officer).
Meskipun
demikian, tidak semua organisasi dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan
menggunakan bentuk piramida tradisional ini. Misalnya pada organisasi yang
lebih fleksibel dan sederhana, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh tim
karyawan yang selalu berubah, berpindah dari satu proyek ke proyek lainnya
sesuai dengan permintaan pekerjaan.
Peran manajer
Henry Mintzberg,
seorang ahli riset ilmu manajemen, mengemukakan bahwa ada sepuluh peran yang
dimainkan oleh manajer di tempat kerjanya. Ia kemudian mengelompokan kesepuluh
peran itu ke dalam tiga kelompok yang
pertama adalah peran antar pribadi, yaitu melibatkan orang dan kewajiban lain,
yang bersifat seremonial dan simbolis. Peran ini meliputi peran sebagai figur
untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung. Yang kedua adalah peran
informasional, meliputi peran manajer sebagai pemantau dan penyebar informasi,
serta peran sebagai juru bicara. Yang ketiga adalah peran pengambilan
keputusan, meliputi peran sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah,
pembagi sumber daya, dan perunding.
Mintzberg kemudian menyimpulkan bahwa secara
garis besar, aktivitas yang dilakukan oleh manajer adalah berinteraksi dengan
orang lain
Keterampilan manajer
Robert L. Katz pada tahun 1970-an mengemukakan bahwa setiap manajer
membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga
keterampilan tersebut adalah:
1. Keterampilan konseptual (conceptional skill)
Manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk
membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi.
Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan menjadi
suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu. Proses
penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu biasanya disebut
sebagai proses perencanaan atauplanning. Oleh karena itu,
keterampilan konsepsional juga meruipakan keterampilan untuk membuat rencana kerja.
2. Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill)
Selain kemampuan konsepsional, manajer juga perlu dilengkapi dengan keterampilan
berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut
juga keterampilan kemanusiaan. Komunikasi yang persuasif harus selalu
diciptakan oleh manajer terhadap bawahan yang dipimpinnya. Dengan komunikasi
yang persuasif, bersahabat, dan kebapakan akan membuat karyawan merasa dihargai
dan kemudian mereka akan bersikap terbuka kepada atasan. Keterampilan
berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan manajemen atas, menengah, maupun
bawah.
3. Keterampilan teknis (technical skill)
Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang
lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan
suatu pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki
mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
Selain tiga keterampilan dasar di atas, Ricky W. Griffin menambahkan dua keterampilan dasar
yang perlu dimiliki manajer, yaitu:
1. Keterampilan manajemen waktu
Merupakan keterampilan yang merujuk pada kemampuan seorang manajer untuk
menggunakan waktu yang dimilikinya secara bijaksana. Griffin mengajukan contoh
kasus Lew Frankfort dari Coach. Pada tahun 2004, sebagai manajer, Frankfort
digaji $2.000.000 per tahun. Jika diasumsikan bahwa ia bekerja selama 50 jam
per minggu dengan waktu cuti 2 minggu, maka gaji Frankfort setiap jamnya adalah
$800 per jam—sekitar $13 per menit. Dari sana dapat kita lihat bahwa setiap
menit yang terbuang akan sangat merugikan perusahaan. Kebanyakan manajer, tentu
saja, memiliki gaji yang jauh lebih kecil dari Frankfort. Namun demikian, waktu
yang mereka miliki tetap merupakan aset berharga, dan menyianyiakannya berarti
membuang-buang uang dan mengurangi produktivitas perusahaan.
2. Keterampilan membuat keputusan
Merupakan kemampuan untuk mendefinisikan masalah dan menentukan cara terbaik
dalam memecahkannya. Kemampuan membuat keputusan adalah yang paling utama bagi
seorang manajer, terutama bagi kelompok manajer atas (top manager). Griffin
mengajukan tiga langkah dalam pembuatan keputusan. Pertama, seorang manajer
harus mendefinisikan masalah dan mencari berbagai alternatif yang dapat diambil
untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer harus mengevaluasi setiap alternatif
yang ada dan memilih sebuah alternatif yang dianggap paling baik. Dan terakhir,
manajer harus mengimplementasikan alternatif yang telah ia pilih serta
mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di jalur yang benar.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah
"melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada
seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang
ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
Ciri-Ciri Seorang Pemimpin
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan
bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atauciri-ciri tertentu yang
sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, dayapersuasi,
dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir
tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill,
Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa
sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan
untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Barangkali pandangan pesimistis tentang
keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku
yang membahas kepemimpinan. Terdapat nasihat tentang siapa yang harus ditiru
(Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus
dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas
pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa
dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam
diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan Tanya). Terdapat lebih
dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader). Bagaimana menjadi
pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku. Guru manajeman
terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat:
"pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi
organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.
Kepemimpinan
Karismatik
Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan
pertama yang membahas kepemimpinan karismatik.Lebih dari seabad yang lalu, ia
mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti
"anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang
membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan
atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak
daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan
ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang
bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap
sebagai seorang pemimpin.
Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan
difokuskan ke karyawan, tingkat terbawah dalam setiap organisasi. Jika dalam
organisasi tradisional, karyawan tidak diperhitungkan dalam pembagian kekuasaan
(power distribution), dengan
pemberdayaan karyawan, kekuasaan justru digali dari dalam diri karyawan
Pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang
kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan
tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan
otorisasi secara eksplisit dari manajer di atasnya. Jika di dalam pendelegasian
wewenang, kekuasaan diberikan oleh manajemen puncak kepada para manajer di
bawahnya (bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan karyawan, kekuasaan digali
dari dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan karyawan (employee empowerment). Pemberian
wewenang oleh manajemen kepada karyawan dilandasi oleh keberdayaan karyawan
yang dihasilkan dari proses pemberdayaan yang dilaksanakan oleh manajemen
terhadap karyawan.
Oleh karena pemberdayaan
karyawan dilaksanakan dengan menggali potensi yang terdapat di dalam diri
karyawan, maka pemberdayaan berarti pengembangan kekuasaan, bukan sekadar
pendistribusian kekuasaan yang telah ada dan yang telah dimiliki oleh
manajemen. Dengan kata lain, pemberdayaan karyawan memberikan keleluasaan
kepada karyawan untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan atas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Sedangkan pendelegasian wewenang
memberikan kekuasaan yang telah dimiliki
oleh manajemen tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di bawahnya.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan
atau pembebasan, bukan pengendalian energi manusia sebagaimana yang
dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang.
Keyakinan Dasar yang Melandasi Pemberdayaan
Karyawan
Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika
dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut ini:
a. Subsidarity.
Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih tinggi
kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus
dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah. Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang
merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut
tidak terampil.
b. Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya
baik. Pemberdayaan karyawan dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan
pemberdayaan, manajer tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan,
verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Manajer
melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai
kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan untuk
mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Oleh karena konsep
pemberdayaan dimulai dari keyakinan bahwa orang pada dasarnya ingin mengerjakan
pekerjaan baik, manajer tidak perlu lagi menerapkan metode guna membujuk
karyawan untuk mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan bahwa
karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan
mereka, dan manajer harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan
hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
c. Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh
manajemen kepada karyawan. Dari pemberdayaan karyawan, hubungan yang tercipta
antara manajemen dengan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan
oleh manajemen kepada karyawan, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh
karyawan melalui kinerjanya.
Dalam
pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena posisinya
(position-based power) dan kemudian mendelegasikan
sebagian wewenangnya kepada manajer yang lebih rendah posisinya. Manajer yang lebih rendah ini juga menerima
wewenang karena posisinya, sehingga dia pun memperoleh position-based power. Sedangkan di dalam pemberdayaan
karyawan, karyawan memperoleh wewenang bukan berdasarkan posisinya, namun
karena kinerjanya (performance-based
power). Tanpa kinerja, karyawan tidak akan mampu menumbuhkan
kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based
relationship tidak akan dapat terwujud.
sumper : wikipedia